Belajar Meneliti part 1
ANALISA
KECENDERUNGAN PENGGUNAAN BAHASA JAWA ANAK TUNAGHAHITA DALAM PERCAKAPAN SEHARI-HARI
Astri Rahmawati1
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk
menganalisa kecenderungan penggunaan bahasa Jawa pada anak tunagrahita dalam
percakapan sehari-hari. Anak tunagrahita (mental retardation) seperti yang
diketahui juga memiliki kecenderungan kesulitan dalam perkembangan bahasanya
termasuk dalam berbahasa daerah atau bahasa Jawa. Sampel penelitian ini adalah
anak-anak tunagrahita dijenjang pendidikan SD di SLB Negeri Surakarta. Adapun
siswa yang menjadi subjek penelitian adalah sebanyak enam siswa.
Hasil penelitian yang didapatkan
melalui observasi dan wawancara dari enam anak yang menjadi subjek penelitian
didapati tiga orang anak cenderung menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
percakapan sehari-hari dan tiga lainnya cenderung lebih nyaman menggunakan
bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.
Kata kunci: Anak
Tunagrahita, Percakapan, Penggunaan Bahasa Jawa
PENDAHULUAN
Manusia
adalah individu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkunganya. Setiap hari
manusia saling berinteraksi dengan manusia lainnya ataupun dengan
lingkungannya. Salah satu interaksi yang tidak dapat tidak dipenuhi manusia
adalah berkomunikasi dengan individu lainnya. Menurut M. Ali (2013) komunikasi adalah bagian penting dalam
menjalin hubungan sosial, baik komunikasi secara verbal maupun non-verbal yang menjadikan
seseorang akan mampu melakukan interaksi antar personal secara aktif yang pada
akhirnya memberikan manfaat bagi pelakunya dalam proses hidup dan kehidupa
1
Mahasiswa
Pendidikan Khusus Universitas Sebelas Maret
|
Komunikasi erat kaitannya dengan bahasa. Bahasa merupakan alat atau jembatan bagi kita untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Bahasa adalah satu sistem kaidah-kaidah yang berfungsi untuk menerjemahkan pikiran ke dalam rangkaian gelombang bunyi untuk mengkomunikasikan gagasan, informasi, perasaan dan keinginan manusia, yang terbentuk atas dasar kesepakatan-kesepakatan masyarakat penggunanya (Sutjihati, 2006). Kemudian definisi ini menunjukkan dua komponen utama dalam bahasa yaitu sistem kaidah-kaidah linguistik yang mendasari kompetensi bahasa (language competence), dan ujaran (speech) atau kinerja bahasa (language performance). Kompetensi bahasa seseorang dapat tercermin pada kinerja bahasanya, tetapi kedua komponen kemampuan berbahasa ini tidak selalu berkembang sejalan.
Selanjutnya ada banyak sekali jenis bahasa yang digunakan
oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penggunaan bahasa nasional maupun
bahasa daerah, bergatung pada kondisi dan kesepakatan antar individu agar
tercipta percapakan yang baik diantara kedua belah pihak. Indonesia sendiri
memiliki bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia dan memiliki banyak sekali
bahasa daerah seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya tergantung
daerah masing-masing. Penggunaan bahasa daerah sendiri di Indonesia kerap
digunakan lebih banyak pada kehidupan sehari-hari untuk bercakap-cakap daripada
bahasa Indonesia utamanya dalam masyarakat yang masih tradisional.
Manusia tidak serta merta dapat berbahasa dengan baik
kecuali melalui serangkaian perkembangan linguistik yang terus berkembang
seiring dengan berjalannya pertumbuhannya. Kondisi seseorang dan kemampuan belajar
seseorang dalam bahasa tentunya akan mempengaruhi perkembangan dan kemampuan
berbahasa mereka. Lebih lanjut kemudian ada beberapa ahli yang mengkaitkan
antara perkembangan inteligensi dan juga kemampuan berbahasa. Hal ini kemudian
dikaitkan dengan kondisi anak berkebutuhan khusus terutama pada anak
tunagrahita. Ingalls (1978) menyebutkan bahwa defisit dalam keterampilan bahasa
mungkin merupakan karakteristik yang paling menonjol yang membedakan antara
orang tunagrahita dan non-tunagrahita. Diasumsikan secara
meluas bahwa bahasa diperlukan untuk sebagian besar proses berpikir tingkat
tinggi, dan oleh karenanya sebagian besar item dalam kebanyakan tes inteligensi
melibatkan stimulus verbal, respon verbal, atau keduanya.
Public Law 101‑476, the
Individuals with Disabilities Education Act (IDEA - undang-undang pendidikan
penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 mendefinisikan ketunagrahitaan
(mental retardation) sebagai berikut: ketunagrahitaan adalah kondisi kemampuan
intelektual secara umum di bawah rata-rata, yang disertai dengan defisit dalam
perilaku adaptif, dan terjadi dalam masa perkembangan, yang berpengaruh besar
terhadap kinerja pendidikan anak (Hawkins‑Shepard, 1994). Kondisi ini
menyebabkan perkembangan bahasa anak tunagrahita mengalami masalah sejak
ketunaan itu sendiri muncul. Anak tunagrahita pada umumnya tidak bisa
menggunaka kalimat majemuk, dalam percakapan sehari-hari mereka banyak
menggunakan kalimat tunggal ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak
normal pada usia yang sama, anak tunagrahita umumnya mengalami gangguan
artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami
keterlambatan dalam perkembangan bicara (expressive
auditory language).
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa
kecenderungan penggunaan bahasa Jawa anak tunagrahita dalam percakapan
sehari-hari.
TINJAUAN PUSTAKA
Ada banyak sekali pengertian bahasa yang dikemukakan para
ahli dalam mendefinisikan bahasa. Menurut Syamsuddin (1986) ada dua
pengertian terhadap istilah bahasa, 1) bahasa adalah alat yang dipakai untuk
membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang
dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi; 2) bahasa adalah tanda yang jelas
dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga
dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Senada dengan pengertian
istilah yang pertama menurut Walija (1996) bahasa ialah komunikasi
yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan
dan pendapat kepada orang lain. Adapun menurut Carrol (1998) bahasa
adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang
sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi
antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama
kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan
hidup manusia.
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh dengan sangat
menakjubkan melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat belajar bahasa apa saja
yang mereka dengar sehari-hari dengan cepat. Hampir semua anak pada umumnya
dapat menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada usia 3 – 4 tahun (Gauri,
2007). Kedua, bahasa apapun memiliki kalimat yang tidak terbatas, dan
kalimat-kalimat dari bahasa yang mereka dengar dan mereka ucapkan, belum pernah
ia dengar sebelumnya. Hal ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekedar
meniru ucapan yang mereka dengar, anak-anak harus belajar konsep gramatikal
yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.
Anak-anak belajar bahasa erat kaitannya dengan perkembangan
kognitif, sehingga perkembangan bahasa akan sejalan dengan perkembangan kognitifnya.
Sedangkan pada kenyataannya anak tunagrahita mengalami hambatan dalam
perkembangan kognitifnya sehingga perkembangan bahasanya juga terhambat.
Hambatan tersebut ditunjukkan dengan tidak seiramanya antara perkembangan
bahasa dengan usia kalendernya (cronolical age), tetapi lebih seirama
dengan usia mentalnya (mental age).
Anak dengan keterbelakangan mental atau tunagrahita sendiri
didefinisikan dalam American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam
B3PTKSM, (p. 20) bahwa anak tunagrahita memiliki karakteristik intelegensinya
sebagai berikut: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata
(Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia
16 tahun; yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan
pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992:
p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban,
yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku. Kekurangan dalam perilaku
adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga
usia 18 tahun.
Hasil penelitian Robert Ingall (Rochyadi, 2005) tentang
kemampuan berbahasa anak tunagrahita dengan menggunakan ITPA (Illionis Test
of Psycholinguistic Abilities), menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita
memperoleh keterampilan berbahasa pada dasarnya sama seperti anak normal, 2)
kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih
rendah dari pada anak normal, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat
mencapai keterampilan bahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak
tunagrahita sangat terlambat dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA
yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai
gramatikal, 6) bahasa
tunagrahita bersifat kongkrit, 7) anak tunagrahita tidak dapat dapat
menggunakan kalimat majemuk. Ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal.
Bahasa Jawa (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮ) adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk
yang tinggal di beberapa daerah lain seperti Banten (terutama Serang, Cilegon, dan Tangerang) serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang meliputi Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon). Jawa bagian tengah yang mempunyai bahasa
jawa kasar dan halus juga, bahasa jawa halus kebanyakan berada di kota kota
disekitar ibu kota jawa tengah ini contohnya di solo dan di ibu kotanya sendiri
yaitu di semarang , di DI Yogyakarta juga memakai bahasa yang halus, sedangkan
untuk yang bahasa jawa kasar berada di kota daerah perbatasan antara jawa barat
dan jawa tengah biasanya di kota daerah sekitar pantai utara dan pantai
selatan.
Baik dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Jawa, ada beberapa pendekatan dalam pembelajaran
bahasa. Pendekatan pembelajar ini memengaruhi kemampuan dan kecenderungan
seseorang dalam berbahasa dalam kesehariannya. Menurut Sellin (1979) ada empat pendekatan dalam pengajaran
bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan
psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran
bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan
untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan
bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita. Sosiolinguis
memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu
pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku
seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan
maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih
ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi
sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu sehingga guru
seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran. Misalnya,
siswa dapat ditoleransi untuk mengatakan "ujan", "nggak",
"udah", dan lain sebagainya atau penggunaan bahasa jawa yang lazim
dalam masyarakat sekitar.
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai
perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker,
1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin
(1979). Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa
sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian
linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang
didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events).
Peristiwa-peristiwa tersebut membentuk perkiraan-perkiraan baru (successive approximations)
tentang keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks yang diperlukan untuk
memperoleh reinforcement yang lebih kompleks pula. Lynch dan Brecker juga
berpendapat bahwa kesiapan atau kematangan turut mempengaruhi proses perolehan
bahasa. Perkembangan artikulasi, penggunaan kalimat negatif, penggunaan
berbagai bentuk kata kerja, dan penggunaan kata-kata tanya muncul sesuai dengan
urutan tertentu dalam masa perkembangan anak. Mereka mengemukakan bahwa hal
tersebut berlaku pula bagi anak tunagrahita.
Selanjutnya pembahasan mengenai pendekatan psikolinguistik
tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang Illinois Test of
Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang dikembangkan oleh Kirk dan McCarthy
(1961). ITPA dimaksudkan untuk menciptakan instrumen yang dapat membedakan
berbagai tingkat kemampuan dalam kinerja bahasa (language performance),
sehingga dapat menampilkan profil tentang bidang-bidang kekuatan siswa dan
peningkatan hasil belajarnya dalam bidang-bidang itu, sehingga prosedur
pelatihan yang spesifik dapat diimplementasikan terhadap bidang-bidang yang
masih bermasalah. Para ahli sepakat dengan maksud tersebut, tetapi sejumlah
ahli masih mempertanyakan validitas instrumen pengukuran dan prosedur
treatment-nya (Sellin, 1979).
Mahoney (1975) dan Sailor, Guess, dan Baer (1973), dll.,
mengusulkan pendekatgan etologi untuk penelitian dan treatment bagi gangguan
bahasa. Pada dasarnya, pendekatan ini menggabungkan ketiga pendekatan di atas,
karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi. Pendekatan etologi
memandang perolehan keterampilan komunikasi sebagai sinkronisasi antara dua
sistem, yaitu sistem individu anak itu sendiri, dan sistem individu dewasa yang
mengasuhnya.
Kajian yang dilakukan oleh Buralnick (1972) dan Snyder,
Loviit, dan Smith (1975) memberikan optimisme sehubungan dengan pengajaran
bahasa bagi anak tunagrahita berat dan mendukung pendekatan etologi. Prosedur
pelatihan untuk kelompok anak ini menekankan pembentukan respon sebelum
produksi bahasa, penggunaan penguat (reinforcer), dan upaya transfer
keterampilan. Menurut Mahoney, yang efektif untuk merangsang timbulnya respon
dari seseorang adalah peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap perilaku
orang tersebut.
METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian untuk mengetahui kecenderungan
penggunaan bahasa jawa pada anak tunagrahita dalam percakapan sehari-hari ini
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena
berusaha untuk mendapatkan data dasar mengenai kecenderungan berbahasa jawa
anak tunagrahita dalam percakapan sehari-hari. Kemudian metode analisa data
yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah melalui analisis deskriptif.
Analisis deskriptif merupakan metode untuk menjelaskan data yang diperoleh
sehingga data tersebut dapat menjelaskan permasalahan yang diteliti. Menurut
Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2005) beberapa langkah yang dilakukan dalam
analisa data yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Adapun fokus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah dalam percakapan sehari-hari mereka cenderung menggunakan bahasa Jawa
atau menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya dan mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Populasi dari penelitian yang dilakukan
adalah siswa-siswa tunagrahita (C) di SLB Negeri Surakarta, namun mengingat
jumlahnya yang tidak sedikit maka yang di ambil sampelnya dari beberapa siswa jenjang
pendidikan SD. Sumber-sumber data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara
yang penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan yang akan
diteliti dengan lebih lanjut. Observasi yang dilakukan adalah mengamati
keseharian anak-anak didalam lingkungan sekolah, mengamati bahasa yang mereka
gunakan dalam bercakap dengan teman sebaya dan juga kepada guru serta orangtua
yang mendampingi. Selain observasi dalam penelitian ini juga menggunakan teknik
wawancara kepada subjek terkait.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan target, penelitian ini dilakukan terhadap anak
dengan gangguan mental (retardasi mental) atau yang disebut dengan istilah
tunagrahita. Adapun data siswa yang
diteliti (subjek penelitian) yaitu:
No
|
Nama Anak
|
Umur
|
1.
|
Azzam
|
7
tahun
|
2.
|
Apri
|
7
tahun
|
3.
|
Daffa
|
6
tahun
|
4.
|
Fadhil
|
7
tahun
|
5.
|
Marvin
|
6
tahun
|
6.
|
Putri
|
9
tahun
|
Dari
data-data siswa yang ada maka kemudian dilakukan observasi terhadap proses
belajar yang dilakukan dikelas. Adapun secara ringkas hasil penelitian
disajikan dalam tabel berikut:
No
|
Nama
|
Jenis Ketunaan
|
Penggunaan Bahasa
(yang sering)
|
|||
Tunagrahita
|
Tunadaksa
|
Hiperaktif
|
Disekolah
|
Dirumah
(orang
tua)
|
||
1.
|
Azzam
|
√
(sedang)
|
Bahasa
Jawa
|
Bahasa
Jawa
|
||
2.
|
Apri
|
√
(sedang)
|
Bahasa
Jawa
|
Bahasa
Jawa
|
||
3.
|
Daffa
|
√
(sedang)
|
√
|
Bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia
(kesulitan
bicara)
|
Bahasa
Jawa dan bahasa Indonesia
(kesulitan
bicara)
|
|
4.
|
Fadhil
|
√
(ringan)
|
√
|
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa
Jawa
dan
Bahasa Indonesia
|
|
5.
|
Marvin
|
√
(sedang)
|
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa
Indonesia
|
||
6.
|
Putri
|
√
(sedang)
|
Bahasa
Indonesia
|
Bahasa
Indonesia
|
||
Data yang didapatkan dari hasil observasi dan wawancara yang
dilakukan menunjukkan bahwa ada korelasi antara kecenderungan penggunaan bahasa
yang digunakan anak dalam kesehariannya dengan kecenderungan penggunaan bahasa
orangtua dirumah. Hal ini kemudian mengacu pada pola-pola pendekatan pembelajaran
bahasa kepada anak sebagaimana yang disampaikan oleh Sellin (1979) bahwa ada
empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu
pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan
behaviorisme, dan pendekatan etologi.
Orangtua dan lingkungan berperan penting dalam perkembangan
bahasa anak sejak anak kecil. Itu sebabnya kecenderungan penggunaan bahasa anak
bergantung pada kecenderungan bahasa yang digunakan oleh orangtua dalam
berinteraksi dengan anak ataupun kecenderungan penggunaan bahasa orang-orang
yang ada disekeliling anak. Meskipun tidak mutlak hanya satu jenis bahasa yang
digunakan hanya saja kecenderungan porsi yang lebih banyak. Disekolah,
anak-anak diajak berinteraksi dengan bahasa Indonesia saat guru sedang mengajar
meskipun dalam beberaa sesi ada pengenalan-pengenalan bahasa daerah dalam
proses pembelajaran.
Beberapa anak yang ditemui saat ditanya lebih nyaman mana
ketika diajak berbicara dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Mereka mengatakan
bahwa mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan
sehari-hari. Tetapi itu bukan berarti mereka tidak bisa berbahasa jawa, hanya
saja beberapa dari mereka lebih nyaman berbahasa Indonesia karena dirumah
mereka juga dibiasakan untuk berbahasa Indonesia oleh orangtuanya. Tetapi
dilain sisi ada juga anak-anak yang lebih suka menggunakan bahasa Jawa dalam
percakapannya sekalipun orang yang bertanya kepada mereka menggunakan bahasa
Indonesia. Sama seperti yang lainnya, kecenderungan itu juga memiliki korelasi
dengan kecenderungan berbahasa orangtuanya. Mereka lebih nyaman dan lebih mudah
diajak berbicara dengan bahasa yang menurut mereka nyaman untuk digunakan.
Secara perkembangan bahasa, seperti pada umumnya anak
tunagrahita sulit memahami kata majemuk dan mereka lebih suka menggunakan
bahasa-bahasa atau istilah-istilah yang sederhana meskipun dalam beberapa anak
mereka sudah mampu berbahasa lebih dari teman-teman tunagrahita pada umumnya.
Mereka juga sulit memahami kata-kata kiasan atau istilah-istilah tidak umum
yang tidak biasa mereka dengar (tidak familiar). Respon yang ditunjukkan pun
cenderung lebih lambat dari anak-anak normal lainnya.
Pada akhirnya kembali lagi kecenderungan penggunaan bahasa
Jawa juga tergantung dari berbagai faktor seperti lingkungan yang mendukung
atau tidak dan juga peran orangtua dan orang disekitar anak. Jenis tata bahasa
Jawa yang digunakan pun bergantung pada kebiasaan orang-orang disekelilingnya,
apakah menggunakan bahasa krama inggil,
krama madya ataupun ngoko ataupu dialek daerah lainnya.
Selain itu perkambangan bahasa anak tunagrahita mestinya juga dapat didukung
untuk lebih berkembang karena nantinya kemampuan bahasanya juga mempengaruhi
perkembangan kognitifnya. Dukungan lingkungan yang baik akan mendorong
perkembangan anak ke arah yang lebih baik juga semestinya, sehingga kemampuan
anak dapat dimaksimalkan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada enam anak
tunagrahita di SDLB Negeri Surakarta maka disimpulkan bahwa kecenderungan
penggunaan bahasa Jawa anak tunagrahita dalam percakapan sehari-hari ditentukan
oleh banyak faktor utamanya oleh kecenderungan berbahasa orangtua dan
orang-orang disekelilingnya. Dukungan lingkungan yang baik dalam berbahasa juga
akan memengaruhi perkembangan bahasa yang baik pada anak tunagrahita.
SARAN
Dari penelitian yang telah dilakukan
melalui serangkaian kegiatan observasi dan wawancara tentang kecenderungan
penggunaan bahasa Jawa pada anak tunagrahita maka ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan oleh guru dan orangtua terutama tentang perkembangan berbahasa
anak tunagrahita:
1. Orangtua, guru dan lingkungan anak
diharapkan dapat mendukung perkembangan bahasa anak tunagrahita dengan
senantiasa memberikan interaksi bahasa yang baik dan sesuai dengan kemampuan
anak.
2. Orangtua, guru dan lingkungan anak
diharapkan dapat memberikan edukasi yang baik tentang bahasa daerah kepada anak
dan memberikan edukasi tentang bahasa yang sebaiknya digunakan pada saat-saat
tertentu sesuai dengan kondisi yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA
American
Association on Mental Retardation. 1992. Mental
retardation: Definition, classification and systems of supports (9th ed.).
Annapolis, MD: Author.
Ingalls, Robert P. 1978. Mental Retardation: The Changing Outlook.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
Sellin, Donald F. 1979. Mental Retardation: Nature, Needs and
Advocacy. Boston: ALLYN AND BACON, INC.
Soemantri,
Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar
Biasa. Bandung: Reflika Aditama
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih