Belajar Meneliti part 1


ANALISA KECENDERUNGAN PENGGUNAAN BAHASA JAWA ANAK TUNAGHAHITA DALAM PERCAKAPAN SEHARI-HARI
Astri Rahmawati1


ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa kecenderungan penggunaan bahasa Jawa pada anak tunagrahita dalam percakapan sehari-hari. Anak tunagrahita (mental retardation) seperti yang diketahui juga memiliki kecenderungan kesulitan dalam perkembangan bahasanya termasuk dalam berbahasa daerah atau bahasa Jawa. Sampel penelitian ini adalah anak-anak tunagrahita dijenjang pendidikan SD di SLB Negeri Surakarta. Adapun siswa yang menjadi subjek penelitian adalah sebanyak enam siswa.
Hasil penelitian yang didapatkan melalui observasi dan wawancara dari enam anak yang menjadi subjek penelitian didapati tiga orang anak cenderung menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa percakapan sehari-hari dan tiga lainnya cenderung lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.

Kata kunci: Anak Tunagrahita, Percakapan, Penggunaan Bahasa Jawa

PENDAHULUAN
Manusia adalah individu yang tidak bisa dipisahkan dari lingkunganya. Setiap hari manusia saling berinteraksi dengan manusia lainnya ataupun dengan lingkungannya. Salah satu interaksi yang tidak dapat tidak dipenuhi manusia adalah berkomunikasi dengan individu lainnya. Menurut M. Ali (2013) komunikasi adalah bagian penting dalam menjalin hubungan sosial, baik komunikasi secara verbal maupun non-verbal yang menjadikan seseorang akan mampu melakukan interaksi antar personal secara aktif yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi pelakunya dalam proses hidup dan kehidupa
1 Mahasiswa Pendidikan Khusus Universitas Sebelas Maret

Komunikasi erat kaitannya dengan bahasa. Bahasa merupakan alat atau jembatan bagi kita untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Bahasa adalah satu sistem kaidah-kaidah yang berfungsi untuk menerjemahkan pikiran ke dalam rangkaian gelombang bunyi untuk mengkomunikasikan gagasan, informasi, perasaan dan keinginan manusia, yang terbentuk atas dasar kesepakatan-kesepakatan masyarakat penggunanya (Sutjihati, 2006). Kemudian definisi ini menunjukkan dua komponen utama dalam bahasa yaitu sistem kaidah-kaidah linguistik yang mendasari kompetensi bahasa (language competence), dan ujaran (speech) atau kinerja bahasa (language performance). Kompetensi bahasa seseorang dapat tercermin pada kinerja bahasanya, tetapi kedua komponen kemampuan berbahasa ini tidak selalu berkembang sejalan.

Selanjutnya ada banyak sekali jenis bahasa yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari mereka. Penggunaan bahasa nasional maupun bahasa daerah, bergatung pada kondisi dan kesepakatan antar individu agar tercipta percapakan yang baik diantara kedua belah pihak. Indonesia sendiri memiliki bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia dan memiliki banyak sekali bahasa daerah seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan lain sebagainya tergantung daerah masing-masing. Penggunaan bahasa daerah sendiri di Indonesia kerap digunakan lebih banyak pada kehidupan sehari-hari untuk bercakap-cakap daripada bahasa Indonesia utamanya dalam masyarakat yang masih tradisional.
Manusia tidak serta merta dapat berbahasa dengan baik kecuali melalui serangkaian perkembangan linguistik yang terus berkembang seiring dengan berjalannya pertumbuhannya. Kondisi seseorang dan kemampuan belajar seseorang dalam bahasa tentunya akan mempengaruhi perkembangan dan kemampuan berbahasa mereka. Lebih lanjut kemudian ada beberapa ahli yang mengkaitkan antara perkembangan inteligensi dan juga kemampuan berbahasa. Hal ini kemudian dikaitkan dengan kondisi anak berkebutuhan khusus terutama pada anak tunagrahita. Ingalls (1978) menyebutkan bahwa defisit dalam keterampilan bahasa mungkin merupakan karakteristik yang paling menonjol yang membedakan antara orang tunagrahita dan non-tunagrahita. Diasumsikan secara meluas bahwa bahasa diperlukan untuk sebagian besar proses berpikir tingkat tinggi, dan oleh karenanya sebagian besar item dalam kebanyakan tes inteligensi melibatkan stimulus verbal, respon verbal, atau keduanya.
Public Law 101‑476, the Individuals with Disabilities Education Act (IDEA - undang-undang pendidikan penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 mendefinisikan ketunagrahitaan (mental retardation) sebagai berikut: ketunagrahitaan adalah kondisi kemampuan intelektual secara umum di bawah rata-rata, yang disertai dengan defisit dalam perilaku adaptif, dan terjadi dalam masa perkembangan, yang berpengaruh besar terhadap kinerja pendidikan anak (Hawkins‑Shepard, 1994). Kondisi ini menyebabkan perkembangan bahasa anak tunagrahita mengalami masalah sejak ketunaan itu sendiri muncul. Anak tunagrahita pada umumnya tidak bisa menggunaka kalimat majemuk, dalam percakapan sehari-hari mereka banyak menggunakan kalimat tunggal ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal pada usia yang sama, anak tunagrahita umumnya mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme. Selain itu anak tunagrahita mengalami keterlambatan dalam perkembangan bicara (expressive auditory language).

TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kecenderungan penggunaan bahasa Jawa anak tunagrahita dalam percakapan sehari-hari.

TINJAUAN PUSTAKA
Ada banyak sekali pengertian bahasa yang dikemukakan para ahli dalam mendefinisikan bahasa. Menurut Syamsuddin (1986) ada dua pengertian terhadap istilah bahasa, 1) bahasa adalah alat yang dipakai untuk membentuk pikiran dan perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatan, alat yang dipakai untuk mempengaruhi dan dipengaruhi; 2) bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian yang baik maupun yang buruk, tanda yang jelas dari keluarga dan bangsa, tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Senada dengan pengertian istilah yang pertama menurut Walija (1996) bahasa ialah komunikasi yang paling lengkap dan efektif untuk menyampaikan ide, pesan, maksud, perasaan dan pendapat kepada orang lain. Adapun menurut Carrol (1998) bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan, atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh dengan sangat menakjubkan melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat belajar bahasa apa saja yang mereka dengar sehari-hari dengan cepat. Hampir semua anak pada umumnya dapat menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada usia 3 – 4 tahun (Gauri, 2007). Kedua, bahasa apapun memiliki kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat-kalimat dari bahasa yang mereka dengar dan mereka ucapkan, belum pernah ia dengar sebelumnya. Hal ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar, anak-anak harus belajar konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.
Anak-anak belajar bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognitif, sehingga perkembangan bahasa akan sejalan dengan perkembangan kognitifnya. Sedangkan pada kenyataannya anak tunagrahita mengalami hambatan dalam perkembangan kognitifnya sehingga perkembangan bahasanya juga terhambat. Hambatan tersebut ditunjukkan dengan tidak seiramanya antara perkembangan bahasa dengan usia kalendernya (cronolical age), tetapi lebih seirama dengan usia mentalnya (mental age).
Anak dengan keterbelakangan mental atau tunagrahita sendiri didefinisikan dalam American Asociation on Mental Deficiency/AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20) bahwa anak tunagrahita memiliki karakteristik intelegensinya sebagai berikut: yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes; yang muncul sebelum usia 16 tahun; yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku. Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun.
Hasil penelitian Robert Ingall (Rochyadi, 2005) tentang kemampuan berbahasa anak tunagrahita dengan menggunakan ITPA (Illionis Test of Psycholinguistic Abilities), menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita memperoleh keterampilan berbahasa pada dasarnya sama seperti anak normal, 2) kecepatan anak tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dari pada anak normal, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan bahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat terlambat dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai gramatikal, 6) bahasa tunagrahita bersifat kongkrit, 7) anak tunagrahita tidak dapat dapat menggunakan kalimat majemuk. Ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal.
Bahasa Jawa (bahasa Jawa: ꦧꦱꦗꦮ) adalah bahasa yang digunakan penduduk bersuku bangsa Jawa di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Selain itu, bahasa Jawa juga digunakan oleh penduduk yang tinggal di beberapa daerah lain seperti Banten (terutama Serang, Cilegon, dan Tangerang) serta Jawa Barat (terutama kawasan pantai utara yang meliputi Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon). Jawa bagian tengah yang mempunyai bahasa jawa kasar dan halus juga, bahasa jawa halus kebanyakan berada di kota kota disekitar ibu kota jawa tengah ini contohnya di solo dan di ibu kotanya sendiri yaitu di semarang , di DI Yogyakarta juga memakai bahasa yang halus, sedangkan untuk yang bahasa jawa kasar berada di kota daerah perbatasan antara jawa barat dan jawa tengah biasanya di kota daerah sekitar pantai utara dan pantai selatan.
Baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa, ada beberapa pendekatan dalam pembelajaran bahasa. Pendekatan pembelajar ini memengaruhi kemampuan dan kecenderungan seseorang dalam berbahasa dalam kesehariannya. Menurut Sellin (1979) ada empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita. Sosiolinguis memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran. Misalnya, siswa dapat ditoleransi untuk mengatakan "ujan", "nggak", "udah", dan lain sebagainya atau penggunaan bahasa jawa yang lazim dalam masyarakat sekitar.
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin (1979). Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events). Peristiwa-peristiwa tersebut membentuk perkiraan-perkiraan baru (successive approximations) tentang keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks yang diperlukan untuk memperoleh reinforcement yang lebih kompleks pula. Lynch dan Brecker juga berpendapat bahwa kesiapan atau kematangan turut mempengaruhi proses perolehan bahasa. Perkembangan artikulasi, penggunaan kalimat negatif, penggunaan berbagai bentuk kata kerja, dan penggunaan kata-kata tanya muncul sesuai dengan urutan tertentu dalam masa perkembangan anak. Mereka mengemukakan bahwa hal tersebut berlaku pula bagi anak tunagrahita.
Selanjutnya pembahasan mengenai pendekatan psikolinguistik tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang dikembangkan oleh Kirk dan McCarthy (1961). ITPA dimaksudkan untuk menciptakan instrumen yang dapat membedakan berbagai tingkat kemampuan dalam kinerja bahasa (language performance), sehingga dapat menampilkan profil tentang bidang-bidang kekuatan siswa dan peningkatan hasil belajarnya dalam bidang-bidang itu, sehingga prosedur pelatihan yang spesifik dapat diimplementasikan terhadap bidang-bidang yang masih bermasalah. Para ahli sepakat dengan maksud tersebut, tetapi sejumlah ahli masih mempertanyakan validitas instrumen pengukuran dan prosedur treatment-nya (Sellin, 1979).
Mahoney (1975) dan Sailor, Guess, dan Baer (1973), dll., mengusulkan pendekatgan etologi untuk penelitian dan treatment bagi gangguan bahasa. Pada dasarnya, pendekatan ini menggabungkan ketiga pendekatan di atas, karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi. Pendekatan etologi memandang perolehan keterampilan komunikasi sebagai sinkronisasi antara dua sistem, yaitu sistem individu anak itu sendiri, dan sistem individu dewasa yang mengasuhnya.
Kajian yang dilakukan oleh Buralnick (1972) dan Snyder, Loviit, dan Smith (1975) memberikan optimisme sehubungan dengan pengajaran bahasa bagi anak tunagrahita berat dan mendukung pendekatan etologi. Prosedur pelatihan untuk kelompok anak ini menekankan pembentukan respon sebelum produksi bahasa, penggunaan penguat (reinforcer), dan upaya transfer keterampilan. Menurut Mahoney, yang efektif untuk merangsang timbulnya respon dari seseorang adalah peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap perilaku orang tersebut.

METODE PENELITIAN
Pendekatan penelitian untuk mengetahui kecenderungan penggunaan bahasa jawa pada anak tunagrahita dalam percakapan sehari-hari ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif karena berusaha untuk mendapatkan data dasar mengenai kecenderungan berbahasa jawa anak tunagrahita dalam percakapan sehari-hari. Kemudian metode analisa data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah melalui analisis deskriptif. Analisis deskriptif merupakan metode untuk menjelaskan data yang diperoleh sehingga data tersebut dapat menjelaskan permasalahan yang diteliti. Menurut Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2005) beberapa langkah yang dilakukan dalam analisa data yakni reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Adapun fokus dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dalam percakapan sehari-hari mereka cenderung menggunakan bahasa Jawa atau menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lainnya dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhinya. Populasi dari penelitian yang dilakukan adalah siswa-siswa tunagrahita (C) di SLB Negeri Surakarta, namun mengingat jumlahnya yang tidak sedikit maka yang di ambil sampelnya dari beberapa siswa jenjang pendidikan SD. Sumber-sumber data dikumpulkan melalui observasi dan wawancara yang penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan yang akan diteliti dengan lebih lanjut. Observasi yang dilakukan adalah mengamati keseharian anak-anak didalam lingkungan sekolah, mengamati bahasa yang mereka gunakan dalam bercakap dengan teman sebaya dan juga kepada guru serta orangtua yang mendampingi. Selain observasi dalam penelitian ini juga menggunakan teknik wawancara kepada subjek terkait.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan target, penelitian ini dilakukan terhadap anak dengan gangguan mental (retardasi mental) atau yang disebut dengan istilah tunagrahita.  Adapun data siswa yang diteliti (subjek penelitian) yaitu:
No
Nama Anak
Umur
1.
Azzam
7 tahun
2.
Apri
7 tahun
3.
Daffa
6 tahun
4.
Fadhil
7 tahun
5.
Marvin
6 tahun
6.
Putri
9 tahun

Dari data-data siswa yang ada maka kemudian dilakukan observasi terhadap proses belajar yang dilakukan dikelas. Adapun secara ringkas hasil penelitian disajikan dalam tabel berikut:

No
Nama
Jenis Ketunaan
Penggunaan Bahasa
(yang sering)
Tunagrahita
Tunadaksa
Hiperaktif
Disekolah
Dirumah
(orang tua)
1.
Azzam
(sedang)


Bahasa Jawa
Bahasa Jawa
2.
Apri
(sedang)


Bahasa Jawa
Bahasa Jawa
3.
Daffa
(sedang)

Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia
(kesulitan bicara)
Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia
(kesulitan bicara)
4.
Fadhil
(ringan)

Bahasa Indonesia
Bahasa Jawa
dan Bahasa Indonesia
5.
Marvin
(sedang)


Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia
6.
Putri
(sedang)


Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia

Data yang didapatkan dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa ada korelasi antara kecenderungan penggunaan bahasa yang digunakan anak dalam kesehariannya dengan kecenderungan penggunaan bahasa orangtua dirumah. Hal ini kemudian mengacu pada pola-pola pendekatan pembelajaran bahasa kepada anak sebagaimana yang disampaikan oleh Sellin (1979) bahwa ada empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.
Orangtua dan lingkungan berperan penting dalam perkembangan bahasa anak sejak anak kecil. Itu sebabnya kecenderungan penggunaan bahasa anak bergantung pada kecenderungan bahasa yang digunakan oleh orangtua dalam berinteraksi dengan anak ataupun kecenderungan penggunaan bahasa orang-orang yang ada disekeliling anak. Meskipun tidak mutlak hanya satu jenis bahasa yang digunakan hanya saja kecenderungan porsi yang lebih banyak. Disekolah, anak-anak diajak berinteraksi dengan bahasa Indonesia saat guru sedang mengajar meskipun dalam beberaa sesi ada pengenalan-pengenalan bahasa daerah dalam proses pembelajaran.
Beberapa anak yang ditemui saat ditanya lebih nyaman mana ketika diajak berbicara dengan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa. Mereka mengatakan bahwa mereka lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Tetapi itu bukan berarti mereka tidak bisa berbahasa jawa, hanya saja beberapa dari mereka lebih nyaman berbahasa Indonesia karena dirumah mereka juga dibiasakan untuk berbahasa Indonesia oleh orangtuanya. Tetapi dilain sisi ada juga anak-anak yang lebih suka menggunakan bahasa Jawa dalam percakapannya sekalipun orang yang bertanya kepada mereka menggunakan bahasa Indonesia. Sama seperti yang lainnya, kecenderungan itu juga memiliki korelasi dengan kecenderungan berbahasa orangtuanya. Mereka lebih nyaman dan lebih mudah diajak berbicara dengan bahasa yang menurut mereka nyaman untuk digunakan.
Secara perkembangan bahasa, seperti pada umumnya anak tunagrahita sulit memahami kata majemuk dan mereka lebih suka menggunakan bahasa-bahasa atau istilah-istilah yang sederhana meskipun dalam beberapa anak mereka sudah mampu berbahasa lebih dari teman-teman tunagrahita pada umumnya. Mereka juga sulit memahami kata-kata kiasan atau istilah-istilah tidak umum yang tidak biasa mereka dengar (tidak familiar). Respon yang ditunjukkan pun cenderung lebih lambat dari anak-anak normal lainnya.
Pada akhirnya kembali lagi kecenderungan penggunaan bahasa Jawa juga tergantung dari berbagai faktor seperti lingkungan yang mendukung atau tidak dan juga peran orangtua dan orang disekitar anak. Jenis tata bahasa Jawa yang digunakan pun bergantung pada kebiasaan orang-orang disekelilingnya, apakah menggunakan bahasa krama inggil, krama madya ataupun ngoko ataupu dialek daerah lainnya. Selain itu perkambangan bahasa anak tunagrahita mestinya juga dapat didukung untuk lebih berkembang karena nantinya kemampuan bahasanya juga mempengaruhi perkembangan kognitifnya. Dukungan lingkungan yang baik akan mendorong perkembangan anak ke arah yang lebih baik juga semestinya, sehingga kemampuan anak dapat dimaksimalkan sesuai dengan kemampuannya masing-masing.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada enam anak tunagrahita di SDLB Negeri Surakarta maka disimpulkan bahwa kecenderungan penggunaan bahasa Jawa anak tunagrahita dalam percakapan sehari-hari ditentukan oleh banyak faktor utamanya oleh kecenderungan berbahasa orangtua dan orang-orang disekelilingnya. Dukungan lingkungan yang baik dalam berbahasa juga akan memengaruhi perkembangan bahasa yang baik pada anak tunagrahita.

SARAN
            Dari penelitian yang telah dilakukan melalui serangkaian kegiatan observasi dan wawancara tentang kecenderungan penggunaan bahasa Jawa pada anak tunagrahita maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru dan orangtua terutama tentang perkembangan berbahasa anak tunagrahita:
1.      Orangtua, guru dan lingkungan anak diharapkan dapat mendukung perkembangan bahasa anak tunagrahita dengan senantiasa memberikan interaksi bahasa yang baik dan sesuai dengan kemampuan anak.
2.      Orangtua, guru dan lingkungan anak diharapkan dapat memberikan edukasi yang baik tentang bahasa daerah kepada anak dan memberikan edukasi tentang bahasa yang sebaiknya digunakan pada saat-saat tertentu sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

DAFTAR PUSTAKA
American Association on Mental Retardation. 1992. Mental retardation: Definition, classification and systems of supports (9th ed.). Annapolis, MD: Author.
Ingalls, Robert P. 1978. Mental Retardation: The Changing Outlook. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Sellin, Donald F. 1979. Mental Retardation: Nature, Needs and Advocacy. Boston: ALLYN AND BACON, INC.

Soemantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Reflika Aditama

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maher Zain: One Big Family, Nuansa Baru Ditengah Degradasi Rasa Persaudaraan

Ambigu

CURHAT #1 : BELAJAR SETELAH DITOLAK