Hidup Untuk Banyak Orang

"Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan hidup sebagai orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan hidup sebagai orang besar dan mati sebagai orang besar."
- Sayyid Qutb -



Siapa tokoh di dunia ini yang Anda kagumi? Siapa pun dia orangnya, saya yakin dia adalah sosok luar biasa yang telah menjadi teladan bagi banyak orang. Dan saya yakin, beliau adalah orang yang telah memberikan manfaat besar bagi hidup dan kehidupan banyak orang. Baik ketika beliau masih hidup, maupun ketika beliau telah tiada.

Ada banyak sekali manusia dimuka bumi ini, milyaran jumlahnya. Tapi berapa banyak orang yang dikenal dan dikenang sepanjang sejarah? Hanya beberapa. Kebanyakan memilih untuk menjadi orang yang rata-rata. Hidup hanya dikenal sedikit orang dan mati hanya meninggalkan nama dalam nisan. selesai. Hanya sebatas itu andilnya di kehidupan.

Lalu apa yang membedakan antara manusia rata-rata dengan orang yang namanya senantiasa di ingat banyak orang dan tercatat dalam sejarah?

Mari kita amati bersama~
Mereka memiliki satu perbedaan mencolok. ketika ada banyak orang yang lebih memilih hidup hanya untuk mensejahterakan diri sendiri, orang-orang besar justru lebih memilih hidup bukan untuk dirinya sendiri. Kebanyakan dari mereka adalah orang yang bekerja selama hidupnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran orang-orang disekitarnya. Mereka tidak akan berhenti sebelum berhasil membuat perubahan dilingkungannya.

Akan tetapi manusia rata-rata lebih memilih hidup dalam ambisi mereka sendiri. Impiannya terbatas hanya tentang kesuksesan diri sendiri. Tidak berkembang. Mereka menyelesaikan sekolahnya dengan baik, masuk perguruan tinggi, mendapat pekerjaan mapan di perusahaan, menikah, punya anak, kemudian menanti datangnya malaikat pencabut nyawa. Yaaa~ Hidupnya monoton. Nggak sepesial.

David T. Kyle, Ph.D mengatakan bahwa jika empati kuat, kita memiliki kapasitas tidak hanya unutk memahami apa yang dirasakan atau dipikirkan orang lain, melainkan juga akan mengalami sensasi yang sama dengan yang dialami orang lain. Pada tingkat yang lebih dalam lagi, orang tersebut dapat sepenuhnya menghubungkan dirinya dengan seseorang; benar-benar merasakan sakit dan menderitan seperti yang diderita orang lain.

Bagi saya, indikator kekayaan itu tidak diukur dari berapa jumlah bawahan, tapi berapa jumlah anak asuh yang disantuninnya. Bukan dinilai dari berapa jumlah pabriknya, tapi dinilai dari berapa lembaga pendidikan atau lembaga pengajaran (pesantren, YPA, Panti asuhan) yang dia miliki. Bukan berapa jumlah uang di rekeningnya, tapi berapa uang yang telah disedekahkannya.

Repost: Ahmad Rifa'i Rif'an (Man Shobaro Dzafiro) edited by Astri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maher Zain: One Big Family, Nuansa Baru Ditengah Degradasi Rasa Persaudaraan

Ambigu

CURHAT #1 : BELAJAR SETELAH DITOLAK