CERPEN
Senandung malam kian
larut kian mendinginkan seluruh jiwa
ini. Aku masih larut mengampun pada sang
kuasa, tak mampu berkata-kata lebih dari memohon ampun pada-Nya. Aku tak mampu
berjihad demi memperjuangkan Islam dan seluruh Kebenarannya.
Adzan Subuh Berkumandang dengan Gagahnya.
Menerobos kegelapan dipagi nan sejuk ini.
“Berikan itu pada kami..!” telingaku ,
sepertinya suara bass seorang lelaki pruh baya.
“berikanlah itu pada kami, ini demi
keselamatan kita semua......!!!” kali ini aku mendengar sebuah suara serak
laki-laki yang nadanya berintonasi tinggi. Dan memekakkan gendang
telingaku.
Aku menegakkan tubuhku yang baru saja
selesai menghadap sang Khalik di Subuh ini. Rasa heran kini memasuki hatiku,
aneh sekali dipagi buta ini kegaduhan telah terjadi. Aku meletakkan sajadah dan
sarung yang tadi ku pakai, keatas meja kecil disamping dipan kayu jati dikamar
kosku.
Aku berjalan meningalkan kamarku, hendak
pergi keluar rumah ketempat terjadi kegaduhan. Aku menerobos, menerawang keluar
jendela besar didepan ruang tamu rumah kos kecilku. Kudapati, ada banyak orang
berdiri didepan rumahku, tapi sepertinya mereka tidak berniat berkunjung
ataupun sekedar mampir main dirumahku.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, yang
membuatku kaget bukan main. “Astaghfirullah hal ‘adzim.. !!” aku membalikkan
pandanganku pada seorang lelaki sebanyaku yang bertubuh jangkung dan berkulit
hitam yang sedang berdiri persis dibelakangku.
“Hahaha.. kau ini seperti melihat setan
saja, lagian kau ini sedanga apa sih, mengintip jendela seperti maling .” Ia
memegangi perutnya dan mentertawaiku sejadi-jadinya.
“ Huh,..! kau ini, se-enaknya saja .. tak
tahu apa jantungku hampir copot..” aku mendengus kesal pada teman sekos-ku ini.
“ Ya, Ya.. aku tahu. .” ia memainkan matanya
yang berkacamata minus itu. “ siapa suruh
kau kaget. Pakai mengintip keluar jendela lagi, macam pencuri saja.”
Kali ini ia menyikut tubuhku.
“ hus.. ngawur saja bicaramu! Aku hanya
penasaran saja sedang terjadi apa diluar sana. Sedari tadi berisik saja kerjaanmu itu..” aku membalikkan
kembali arah pendanganku ke luar jendela, meninggalkan tatapan iseng Andrie
dibelakangku. Emh, tampaknya belum usai juga kegaduhan itu, jalan didepan rumah
kos-ku ini masih ramai saja.
“kau tidak tahu ya sedang ada apa disana.”
Andrie menyikut lenganku, dan aku refleks mengrenyitkan dahiku.” Hm.... yang ku
dengar dari Oris, pak Gong si peramal ia bermimpi bahwa kampung kita ini akan
dilanda kekeringan berkepanjangan, dan sebab kegaduhan disana itu ia meminta
seorang nenek Can yang tinggal di ujung
desa itu, memberikan kain tua yang ia punya, dan itu adalah peninggalan
suaminya, maka dari itu si nenek berusaha tidak memberikannya. Ah, sku juga
masih bingung, lebih baik kita sekarang pergi keluar”. Andrie mengajakku melihat
kegaduhan diluar, ia menarik lenganku yang asyik menggenggam bagian atas kursi
dekat jandela.
Aku membuntuti Andrie dibelakangnya.
Nampak jelas, suasana diluar sedang tidak baik. Sepanjang aku berada diluar,
aku menemui lumayan banyak orang. Tapi, tatapan nanar mereka membuatku sungguh
tak tahan berlama-lama disini.
“berikan kain itu pada kami..!!” suara
super seorang bapak yang terdengar ditiap sudut jalan didesa yang sebenarnya
sungguh indah ini.
Aku
mengalihkan padanganku ke sumber suara, terlihat seorang lelaki paruh baya yang
bertubuh gendut dan tinggi serta berkulit hitam yang sangat ku kenal, Pak
Nar ber-ekspresi layaknya orang yang
sedang marah. Aku tak merasakan apapun saat melihat ia marah, tapi sepuluh
detik kemudian serasa tulang kedua kakiku tak lagi dapat menopang tubuh
jangkungku ini, aku tak bisa lagi berkata-kata, saat aku melihat seorang nenek
Can tersungkur jatuh dihadapan lelaki gendut itu dan dikelilingi oleh banyak
warga yang ber-ekspresi sama halnya.
“aku mohon jangan lakukan itu padaku, ini adalah milikku
satu-satunya..” nenek Can berusaha menjelaskan kesalah pahaman yang tengah
terjadi, sambil menggenggam dengan erat sebuah kain putih yang entah itu apa.
“ tolong berikan, tau kami rebut paksa dari nenek!!!” ancam lelaki
gendut itu.
Tapi,
tanpa ba-bi-bu Pak Nar si dukun jadi-jadian itu merampas dengan paksa sehelai
kain yang sedari tadi hinggap dalam genggaman si nenek.
“ Jangaaann.. !” nenek Can pun tak kuat menahan tarikan lelaki yang
terpaut usia cukup jauh dari si nenek. Gelak tawa kemenangan sedetik kemudian
membumbung tinggi di Minggu pagi ini, bersama jerit hati si nenek yang
tertindas itu.
Dan
aku tak mampu menceritakan betapa pilu hati si janda tua yang telah lama
ditinggal suaminya dan hidup sebatang kara .
Hatiku menjerit keras, mencoba menyadarkanku akan diamku. Ah,
lagi-lagi pak Gong membuat kegaduhan dan kepiluas seorang nenek.
@@@
Aku meneruskan langkah kakiku, yang sedari
tadi asyik menjamah jalanan pedesaan yang masih asri ini. Aku menikmati
pemandangan persawahan yang membentang dengan luas di hampir setai sudut desa
ini.
Kehenangan ku kemudian memecah, saat aku
mendapati sekelompok orang memakai pakaian serba hitam. Ah, lagi-lagi mataku
menatap segerombol orang yang tak asing lagi bagiku. Ya, rombongan “Mbah
Ireng”. Sekelompok orang yang sangat percaya dengan tahayul dan sangat
mempercayai perkiraan tak logis dari pak Gong. Tentu saja kelompok ini
deiketuai oleh pak Gong, si biang keladi.
Lagi-lagi, aku dibuat penasaran oleh
kelompok “mbah Ireng” itu. Banyak orang mengerubuti tempat mbah Ireng berulah,
hatiku makin penasaran.
Aku berjalan menuju ke segerombol orang
yang tengah mengerubut kawanan mbah Ireng. Bagai “lalat yang mengerubuti
bangkai”, dipinggir sungai samping desa.
“Astaghfirullah...” kata kata itu sejenak
membuat kegiatan kawanan mbah Ireng terpaku, tapi hanya lima belas detik
lamanya. Akupun kaget, suara itu harusnya yang keluar saat aku pertama kali
melihat perbuatan syirik mereka. Tapi, kali ini yang kaget bukan aku, tapi
Keimanan ku. Aku beristighfar berkali-kali mencoba menenangkan hati ini pada
kesyirikan yang telah aku lihat ini.
Kawanan mbah Ireng benar-benar menuhankan
Syirik. Di Senja yang syahdu ini, mereka hancurkan kesyahduannya dengan
mengadakan perbuata yang bena-benar perbuatan seorang ahli neraka. Ulah mereka
kali ini adalah mengadakan upacara. Kata mereka “upacara sajen kali gedhe”. Oh,
Ya Rabbiy.. kali ini berapa banyak lagi dosa yang mereka tumpuk, dan berapa
waktu lagi aku bisa bertahan ditengah ke-Syirikan.
Ada banyak macam kembang-kembang yang
sungguh wanginya membuatku muntah, ada sehelai kain putih yang masih sangat ku
kenal diingatanku, dan oh, berbagai macam bagian tubuh hewan ternak, ada kepala
kambing, kepala sapi, dan seluruh bagian yag telah terpotong dari kedua hewan
ternak itu.
Lama.. lama.. dan lama. Aku kini telah
berada dalam bingkisan perdebatan antara Iman dan Ego yang saling menarik
jasadku.
“Hendru, kau harus menghentikan perbuatan
mereka itu. Kau harus tegakkan kebenaran dan Islam. Jangan biarkan setan mampu
menyeret warga lain dan dirimu..!!”
kata-kata Iman membuat hatiku makin kokoh.
“tunggu..!!! jangan Hendru, lihat apa
dampak buruknya dulu. Jika kau mengusik mereka makan kau akan diusir dari
tempat ini..!!” kali ini kata Egoku membuatku lemah.
“ Percayalah Hendru, Allah kan menjaga dan
mengutkanmu, jangan dengarkan egomu.. “ Kali Ini kata-kata Iman membuatku semangat
sekali Edo hanya terdiam dan kemudian pergi, ada sesuatu yang mengharuskanku
berbuat ini.
“
Bismillahirrahmanirrahim.. ya Rabbiy,
biarkan aku mencoba melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, dan berilah
hamba pertolongan untuk menegakkan semua keadilan yang seadilnya dimata-Mu”. Aku membatin.
Aku tersadar dan bangun dari risau hati
yang teramat sangat tadi. Ternyata begitu lama aku kalut dalam negosiasi yang
melelahkan ini.
Sepi.. semua orang telah pergi meninggalka
tempat sesajen mbah Ireng yang tertata rapih, dan ini adalah kesempatanku
melancarkan aksiku yang belum bisa dikatakan berani. Tapi,
Bismillahirrahmanirrahim..

Komentar
Posting Komentar
Terima kasih