CERPEN



“Biarkan Aku Mencoba..”
By: Astri Rahmawati.


      Senandung malam kian larut kian mendinginkan seluruh  jiwa ini. Aku masih larut  mengampun pada sang kuasa, tak mampu berkata-kata lebih dari memohon ampun pada-Nya. Aku tak mampu berjihad demi memperjuangkan Islam dan seluruh Kebenarannya.

      Adzan Subuh Berkumandang dengan Gagahnya. Menerobos kegelapan dipagi nan sejuk ini.
      “Berikan itu pada kami..!” telingaku , sepertinya suara bass seorang lelaki pruh baya.
      “berikanlah itu pada kami, ini demi keselamatan kita semua......!!!” kali ini aku mendengar sebuah suara serak laki-laki yang nadanya berintonasi tinggi. Dan memekakkan gendang telingaku. 
      Aku menegakkan tubuhku yang baru saja selesai menghadap sang Khalik di Subuh ini. Rasa heran kini memasuki hatiku, aneh sekali dipagi buta ini kegaduhan telah terjadi. Aku meletakkan sajadah dan sarung yang tadi ku pakai, keatas meja kecil disamping dipan kayu jati dikamar kosku.
      Aku berjalan meningalkan kamarku, hendak pergi keluar rumah ketempat terjadi kegaduhan. Aku menerobos, menerawang keluar jendela besar didepan ruang tamu rumah kos kecilku. Kudapati, ada banyak orang berdiri didepan rumahku, tapi sepertinya mereka tidak berniat berkunjung ataupun sekedar mampir main dirumahku. 
      Tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, yang membuatku kaget bukan main. “Astaghfirullah hal ‘adzim.. !!” aku membalikkan pandanganku pada seorang lelaki sebanyaku yang bertubuh jangkung dan berkulit hitam yang sedang berdiri persis dibelakangku.
      “Hahaha.. kau ini seperti melihat setan saja, lagian kau ini sedanga apa sih, mengintip jendela seperti maling .” Ia memegangi perutnya dan mentertawaiku sejadi-jadinya.
      “ Huh,..! kau ini, se-enaknya saja .. tak tahu apa jantungku hampir copot..” aku mendengus kesal pada teman sekos-ku ini.
      “ Ya, Ya.. aku tahu. .” ia memainkan matanya yang berkacamata minus itu. “ siapa suruh  kau kaget. Pakai mengintip keluar jendela lagi, macam pencuri saja.” Kali ini ia menyikut tubuhku.
      “ hus.. ngawur saja bicaramu! Aku hanya penasaran saja sedang terjadi apa diluar sana. Sedari tadi  berisik saja kerjaanmu itu..” aku membalikkan kembali arah pendanganku ke luar jendela, meninggalkan tatapan iseng Andrie dibelakangku. Emh, tampaknya belum usai juga kegaduhan itu, jalan didepan rumah kos-ku ini masih ramai saja.
      “kau tidak tahu ya sedang ada apa disana.” Andrie menyikut lenganku, dan aku refleks mengrenyitkan dahiku.” Hm.... yang ku dengar dari Oris, pak Gong si peramal ia bermimpi bahwa kampung kita ini akan dilanda kekeringan berkepanjangan, dan sebab kegaduhan disana itu ia meminta seorang nenek Can  yang tinggal di ujung desa itu, memberikan kain tua yang ia punya, dan itu adalah peninggalan suaminya, maka dari itu si nenek berusaha tidak memberikannya. Ah, sku juga masih bingung, lebih baik kita sekarang pergi keluar”. Andrie mengajakku melihat kegaduhan diluar, ia menarik lenganku yang asyik menggenggam bagian atas kursi dekat jandela.
      Aku membuntuti Andrie dibelakangnya. Nampak jelas, suasana diluar sedang tidak baik. Sepanjang aku berada diluar, aku menemui lumayan banyak orang. Tapi, tatapan nanar mereka membuatku sungguh tak tahan berlama-lama disini.
      “berikan kain itu pada kami..!!” suara super seorang bapak yang terdengar ditiap sudut jalan didesa yang sebenarnya sungguh indah ini.
Aku mengalihkan padanganku ke sumber suara, terlihat seorang lelaki paruh baya yang bertubuh gendut dan tinggi serta berkulit hitam yang sangat ku kenal, Pak Nar  ber-ekspresi layaknya orang yang sedang marah. Aku tak merasakan apapun saat melihat ia marah, tapi sepuluh detik kemudian serasa tulang kedua kakiku tak lagi dapat menopang tubuh jangkungku ini, aku tak bisa lagi berkata-kata, saat aku melihat seorang nenek Can tersungkur jatuh dihadapan lelaki gendut itu dan dikelilingi oleh banyak warga yang ber-ekspresi sama halnya.
“aku mohon jangan lakukan itu padaku, ini adalah milikku satu-satunya..” nenek Can berusaha menjelaskan kesalah pahaman yang tengah terjadi, sambil menggenggam dengan erat sebuah kain putih yang entah itu apa.
“ tolong berikan, tau kami rebut paksa dari nenek!!!” ancam lelaki gendut itu.
Tapi, tanpa ba-bi-bu Pak Nar si dukun jadi-jadian itu merampas dengan paksa sehelai kain yang sedari tadi hinggap dalam genggaman si nenek.
“ Jangaaann.. !” nenek Can pun tak kuat menahan tarikan lelaki yang terpaut usia cukup jauh dari si nenek. Gelak tawa kemenangan sedetik kemudian membumbung tinggi di Minggu pagi ini, bersama jerit hati si nenek yang tertindas itu.
Dan aku tak mampu menceritakan betapa pilu hati si janda tua yang telah lama ditinggal suaminya dan hidup sebatang kara .
Hatiku menjerit keras, mencoba menyadarkanku akan diamku. Ah, lagi-lagi pak Gong membuat kegaduhan dan kepiluas seorang nenek.
@@@
      Aku meneruskan langkah kakiku, yang sedari tadi asyik menjamah jalanan pedesaan yang masih asri ini. Aku menikmati pemandangan persawahan yang membentang dengan luas di hampir setai sudut desa ini.
      Kehenangan ku kemudian memecah, saat aku mendapati sekelompok orang memakai pakaian serba hitam. Ah, lagi-lagi mataku menatap segerombol orang yang tak asing lagi bagiku. Ya, rombongan “Mbah Ireng”. Sekelompok orang yang sangat percaya dengan tahayul dan sangat mempercayai perkiraan tak logis dari pak Gong. Tentu saja kelompok ini deiketuai oleh pak Gong, si biang keladi.
      Lagi-lagi, aku dibuat penasaran oleh kelompok “mbah Ireng” itu. Banyak orang mengerubuti tempat mbah Ireng berulah, hatiku makin penasaran.
      Aku berjalan menuju ke segerombol orang yang tengah mengerubut kawanan mbah Ireng. Bagai “lalat yang mengerubuti bangkai”, dipinggir sungai samping desa.
      “Astaghfirullah...” kata kata itu sejenak membuat kegiatan kawanan mbah Ireng terpaku, tapi hanya lima belas detik lamanya. Akupun kaget, suara itu harusnya yang keluar saat aku pertama kali melihat perbuatan syirik mereka. Tapi, kali ini yang kaget bukan aku, tapi Keimanan ku. Aku beristighfar berkali-kali mencoba menenangkan hati ini pada kesyirikan yang telah aku lihat ini.
      Kawanan mbah Ireng benar-benar menuhankan Syirik. Di Senja yang syahdu ini, mereka hancurkan kesyahduannya dengan mengadakan perbuata yang bena-benar perbuatan seorang ahli neraka. Ulah mereka kali ini adalah mengadakan upacara. Kata mereka “upacara sajen kali gedhe”. Oh, Ya Rabbiy.. kali ini berapa banyak lagi dosa yang mereka tumpuk, dan berapa waktu lagi aku bisa bertahan ditengah ke-Syirikan.
      Ada banyak macam kembang-kembang yang sungguh wanginya membuatku muntah, ada sehelai kain putih yang masih sangat ku kenal diingatanku, dan oh, berbagai macam bagian tubuh hewan ternak, ada kepala kambing, kepala sapi, dan seluruh bagian yag telah terpotong dari kedua hewan ternak itu.
      Lama.. lama.. dan lama. Aku kini telah berada dalam bingkisan perdebatan antara Iman dan Ego yang saling menarik jasadku.
      “Hendru, kau harus menghentikan perbuatan mereka itu. Kau harus tegakkan kebenaran dan Islam. Jangan biarkan setan mampu menyeret warga lain dan dirimu..!!”  kata-kata Iman membuat hatiku makin kokoh.
      “tunggu..!!! jangan Hendru, lihat apa dampak buruknya dulu. Jika kau mengusik mereka makan kau akan diusir dari tempat ini..!!” kali ini kata Egoku membuatku lemah.
      “ Percayalah Hendru, Allah kan menjaga dan mengutkanmu, jangan dengarkan egomu.. “ Kali Ini kata-kata Iman membuatku semangat sekali Edo hanya terdiam dan kemudian pergi, ada sesuatu yang mengharuskanku berbuat ini.
      “ Bismillahirrahmanirrahim..  ya Rabbiy, biarkan aku mencoba melakukan apa yang seharusnya aku lakukan, dan berilah hamba pertolongan untuk menegakkan semua keadilan yang seadilnya dimata-Mu”. Aku membatin.
      Aku tersadar dan bangun dari risau hati yang teramat sangat tadi. Ternyata begitu lama aku kalut dalam negosiasi yang melelahkan ini.
      Sepi.. semua orang telah pergi meninggalka tempat sesajen mbah Ireng yang tertata rapih, dan ini adalah kesempatanku melancarkan aksiku yang belum bisa dikatakan berani. Tapi,
Bismillahirrahmanirrahim..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maher Zain: One Big Family, Nuansa Baru Ditengah Degradasi Rasa Persaudaraan

Ambigu

CURHAT #1 : BELAJAR SETELAH DITOLAK