Pesawat Tempurku



Ketika aku duduk dikelas XI aku dan teman-teman satu kelompokku pernah mendapat tugas bahasa Indonesia untuk mewawancarai seseorang. Bebas, siapa saja yang penting masih dalam sekitar kompleks sekolah. Tujuan awal kami adalah mewawancarai seorang penjual boneka si sekat persimpangan selatan alun-alun kabupaten kebumen. Kami pergi untuk mencoba menemuibeliau pada saat jam pelajaran bahasa Indonesia (22 September 2014).

Namanya juga orang usaha.. Kami dicuekin, ditolak seketika. Haha lucu, tapi kemudian kami dihampiri oleh seorang bapak penambal ban yang mencoba menghibur kami dan akhirnya beliaulah yang menjadi narasumber kami.
YUK SIMAK~

Hidup adalah sebuah perjalanan. 

             Namanya Bapak Nur Salim. Laki-laki laki yang sudah berkepala tiga ini merupakan salah satu orang yang menawarkan jasa tambal ban didekat rumah tahanan, didaerah sekitar alun-alun Kebumen. Anak pertama dari dua bersaudara purta Bapak Ahmad Subekti ini adalah seorang pekerja serabutan. Kehidupannya sebagai seseorang yang hanya lulusan SMP memang tidak semudah dengan apa yang bisa kita banyangkan. Semenjak beliau lulus dari bangku SMP –tepatnya di SMP PGRI- beliau harus berusaha keras demi membantu mencukupi kehidupan keluarganya.
             Pada tahun 2002 beliau pernah menjadi seorang perantau di kota metropolitan, Jakarta. Beliau pernah bekerja menjadi pelayan restaurant, sebagai cleaning service, dan pekerja bangunan disana, sampai pada akhirnya beliau memutuskan untuk kembali lagi ke Kebumen pada tahun 2006. Alasan beliau meninggalkan Jakarta tidak lain karena di kota metropolitan seperti di Jakarta sana, lowongan kerja sangat sulit sekali didapatkan. Apalagi dengan dasar pendidikan yang rendah seperti beliau sendiri, hal ini akan semakin mempersulit beliau untuk bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Disinilah kehidupanku.
             Awal sepulangnya dari perantauan, beliau bekerja sebagai kuli bangunan atas ajakan teman-teman beliau yang juga bekerja disana. Mejadi kuli bangunan memang tidak mudah. Beliau dan teman-temannya harus bekerja keras, walaupun gaji yang diterima memang terkadang tidak sebanding dengan apa yang sudah mereka kerjakan. Tetapi bagi beliau itu sudah lebih baik dari pada harus bekerja di Jakarta, karena bagaimanapun juga rumah sendiri jauh lebih nyaman dibanding rumah orang lain. Ya, dengan menetap di tanah kelahiran beliau, Kebumen. Beliau bisa setiap hari berkumpul dengan keluarga dan menjalani segala tantangan hidup bersama.
             Bekerja sebagai kuli bangunanpun bukan merupakan pekerjaan harian kerena tidak setiap waktu ada proyek yang perlu dikerjakan. Selagi tidak ada proyek atau istilahnya “panggilan”, beliau setiap hari bekerja membantu ayahandanya, Bapak Ahmad Subekti sebagai penambal ban didekat rumah tahanan, dekat alun-alun Kebumen. Bapak Ahmad Subekti sendiri sudah lama mejadi seorang penambal ban, kira-kira seudah lebih dari tigapuluh tahun atau lebih tepatnya sejak Bapak Nur Salim menginjak bangku sekolah dasar (SD). Penghasilan seorang penambal ban memang tidak besar dan tidak menentu. Karena mamang tidak setiap waktu ada pelanggan yang singgah ditempat baliau. Beliau sendiri membuka jasa tambal ban sejak pukul 11.00 WIB sampai semaksimalnya pukul 22.00 WIB. Tarif yang beliau kenakan untuk setiap kali menambal adalah Rp8.000,00- disiang hari dan Rp10.000,00- dimalam hari. Jika ramai pelanggan, setiap hari beliau bisa memperoleh uang kurang lebih sekitar Rp50.000,00-, “Alhamdulillah bisa sedikit diberikan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ucap beliau. Tapi tak jarang pula ketika tambal bannnya sepi pelanggan beliau membawa sedikit sekali uang, dan tak jarang pula membuat istrinya kesal.
             “Namanya saja usaha, nda tentu seperti ini. Kita nda pernah tahu kapan pelanggan datang kepada kita. Disyukuri saja,” Ucap beliau sambil tersenyum.
             Keterampilan menambal ban Bapak Nur Salim sendiri diperoleh karena sejak kecil beliau terbiasa membantu ayahnya. Apalagi kini dengan kondisi ayahnya yang sudah renta, Bapak Nur Salim pun akhirnya mengambil alih profesi ayahnya. Meskipun ayahnya sendiri masih gigih bekerja walaupun kondisi fisiknya terkadang tidak mendukung. Apalagi kini Bapak Nur Salim adalah seorang kepala keluarga. Beliau kini sudah memiliki seorang istri yang bekerja sebagai guru PAUD, dan seorang putra yang harus dinafkahinya. Kehidupannya menjadi seorang penambal ban dipinggir jalan memang tidak terlepas dari peristiwa “kucing-kucingan” dengan Satpol PP. Jika ada penertiban dari Satpol PP, beliau sendiri lebih memilih untuk tidak membuka jasa tambal bannya. Dan yang paling merepotkan adalah memindah peralatan tambal ban yang lumayan berat itu. Lebih merepotkan lagi ketika berhadapan dengan musim penghujan. Biasanya beliau membuat tenda sederhana untuk berteduh. Bagaimanapun juga hal ini memang merepotkan. Tetapi bagi beliau hal ini adalah bagian dari ikhtiyar demi keluarganya. 

Apapun demi keluarga

“Yang terpenting bisa memenuhi kebutuhan anak dan istri.”

            Itulah motivasi yang beliau pegang sekarang. Apapun demi keluarga. Kerasnya kehidupan beliau jalani dengan keikhlasan. Semata-mata karena beliau amat menyayangi keluarganya. Ada benarnya juga jika orang-orang mengatakan bahwa cinta itu tidak hanya di lisan tetapi nyata perbuatan. Seperti Bapak Nur Salim sendiri, cintanya kepada anak dan istrinya membuat beliau selalu bersemangat menjalani kehidupan. Ya, seperti cinta orangtua kepada kita. 

--
mengharukan banget ya? :" jujur menurutku beliau sederhana, ramah, dan berdedikasi tinggi sama pekerjaannya. Tapi yang bikin greget lagi... di gerobak biasa beliau mengangkut peralatan tambal ban ada tulisan: PESAWAT TEMPURKU. 

yaa.. pesawat tempur untuk bertarung dalam kehidupan yang cukup kejam ini. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maher Zain: One Big Family, Nuansa Baru Ditengah Degradasi Rasa Persaudaraan

Ambigu

CURHAT #1 : BELAJAR SETELAH DITOLAK