ETIKA PERS -Hikmah Membaca Novel- 01




Segala sesuatu didunia ini punya aturan. Ada jalurnya, ada ketentuannya, ada etikanya. Termasu pers. Pers atau yang paling mudah disebut ‘media’ juga punya etika, punya aturannya. Mengapa begitu? Mengapa pers harus memiliki etika? Coba bayangkan saja atau paling tidak lihatlah hari ini, pikirkanlah apa jadinya jika pers, yang merupakan sumber berita kita selama ini, tidak memiliki etika, tidak punya aturan. Mereka akan dengan leluasa membuat berita ‘bohong’. Dan konsekuensinya? Kita tidak akan tahu informasi mana yang salah dan mana yang benar.
Sebelum berbicara soal etika pers, aku akan sedikit bercerita. Beberapa hari yang lalu aku selesai membaca buku Rantau 1 Muara karya Ahmad Fuadi. Buku ini merupakan buku ke tiga dari trilogi Negeri 5 Menara yang juga ditulis oleh pengarang yang sama. Buku yang ditulis based of true story, berdasarkan kisah nyata si penulis, ini memang sudah menarik perhatianku sejak lama. Singkatnya dibuku yang ketiga ini penulis menceritakan pengalamannya ketika dirinya menginjak semester terakhir kuliah. Ketika itu sekitar tahun 1998. Diceritakan Alif, si tokoh utama, yang sedang kesulitan mencari pekerjaan meskipun dirinya adalah seorang sarjana yang bisa dibilang cukup berprestasi. Mengingat saat itu pemerintah orde baru sudah semakin tercium ‘busuknya’, apalagi saat itu tengah terjadi krisis ekonomi dan dimana-mana terdapat banyak sekali terjadi kerusuhan Alif pun menjadi salah satu bagian dari peristiwa itu. Lama setelah wisuda, dirinya tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Hingga suatu saat kemudian dirinya diterima bekerja di Derap. Yaitu sebuah media massa yang sempat dibekukkan oleh pemerintah orde baru yang sangat anti dengan kritik.
Di Derap inilah Alif belajar menjadi seseorang yang ahli dalam pers, yang konsisten dengan etika pers. Derap ini sangat menjunjung tinggi komitmen dalam produksi berita yang sesuai dengan fakta dilapangan dan tidak dibuat-buat. Dari cerita ini juga aku jadi tahu ternyata menjadi pers yang jujur itu penuh dengan tantangan. Ketika mendatangi sebuat tempat kejadian, atau momen jumpa pers ada saja pihak yang memberikan ‘pesangon’ dalam arti sebagai uang damai sehingga bisa saja berita yang mereka beritakan akan berbalik dengan fakta yang sesungguhnya.
Nah inilah yang membuat aku sendiri semakin sadar bahwa ternyata hari ini pers pun sudah tidak bisa dipercaya. Ada ‘misi’ tertentu yang kemudian mempengaruhi mereka dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Masih ingatkah dengan momen pilpres tahun lalu? Salah satu hal yang lucu dari momen itu adalah ketika beberapa stasiun tv menyiarkan jasa perhitungan cepat. Di tv A yang menang si A, lain lagi di tv B yang menang pun yang B. tak hanya itu, sebelum pilpres dilaksanakan pun dua stasiun televisi ini pun berlomba-lomba untuk memberikan ‘pencitraan’ baik terhadap jagoan mereka dan sebaliknya, juga memberitakan hal-hal buruk tentang lawan mereka.
Apa yang bisa disimpulkan? Dengan hati yang sangat prihatin, harus aku akui bahwa ternyata hari ini etika pers ini sudah tidak lagi dijunjung tinggi oleh kalangan pers sendiri. Banyak berita bohong dan ‘wagu’ yang dengan entengnya mereka sebarkan kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak pernah tahu kebenaran yang sebenarnya seperti apa. Lalu bagaimana sikap kita? Mengetahui ‘kebejatan’ pers hari ini, maka sebagai penerima informasi kita haruslah bertindak sebijak mungkin. Jangan menjadi penikmat yang mudah dihasut. :) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Maher Zain: One Big Family, Nuansa Baru Ditengah Degradasi Rasa Persaudaraan

Ambigu

CURHAT #1 : BELAJAR SETELAH DITOLAK