CINTA TAK MENEGENAL WAKTU
Menyebalkan
sekali laki-laki itu. Aku hapir saja terjatuh dari minibus tadi. Sudah tahu
minibus ini penuh sesak. Masih saja dia mendorong-dorong penumpang lain seperti
tadi. Dasar tidak sabaran. Huh! Pagi ini kacau sekali. Aku bangun terlambat,
kena omelan Gagah karena terlambat, hampir terjatuh dari minibus dan yang
paling menjadi beban pikiranku saat ini, ibu sedang marah padaku.
![]() |
| forever love |
Sempurna.
Ibu sepertinya amat sangat marah kepadaku tentang kejadian tadi malam.
Terbukti, pagi ini ibu tidak membangunkanku seperti biasanya dan hanya diam
saat sarapan pagi. Astaga, bagaimana aku harus menjelaskannya? Sungguh, tadi
malam itu hanya obrolan ringan saja di telepon. Tidak lebih. Lagi pula aku
tidak memiliki hubungan apapun dengan Aria. Aku hanya terpaksa mengangkat
teleponnya, karena dia bilang butuh teman bercerita dan kebetulan aku juga
belum mengantuk tadi malam. Ya Tuhan, mengapa jadi serumit ini permasalahannya?
Aku
sebenarnya bersalah juga, mengapa tadi malam aku malah berbohong pada ibu? Ya
ampun.. Tadi malam itu aku takut sekali. Takut ibu mengira yang tidak-tidak,
jadi aku terpaksa berbohong kalau telepon itu dari Nafa. Dan ternyata
kebohongan itu memang tidak bertahan lama. Ibu sebenarnya sudah tahu apa yang
terjadi. Dan kebohongan itu sama sekali tidak berguna sekarang. Tetapi ini juga
salah ibu. Beliau terlalu sering menduga-duga sesuatu yang salah. Aku tidak
menyukainya. Dan itu membuatku takut berkata jujur pada ibu.
Minibus
ini berjalan lambat dan penuh sekali. Padahal biasanya dihari minggu seperti
ini minibus sepi penumpang. Aku sudah tidak sabaran sekarang. Ingin rasanya
berteriak meminta supir minibus ini untuk cepat. Tapi aku masih punya etika.
Tentu saja jika aku melakukannya aku malah bersikap tidak sopan. Bersabarlah
Ana.
Habislah
aku, aku harus siap-siap diceramahi Gagah karena telat. Aku menyesal.
Seharusnya kemarin aku tidak perlu berjanji datang pukul tujuh pagi.
“Permisi
nduk,” ucap seorang nenek yang hendak
duduk disebelahku. Memecahkan lamunanku tentang masalahku hari ini. Aku hanya
menjawab sapaan beliau dengan tersenyum. Sedikit memaksa tersenyum. Karena
sepanjang hari ini aku sama sekali belum tersenyum.
Aku
memperhatikan nenek ini. Guratan wajahnya sedikit menggambarkan siluet
kesedihan, tetapi pesona wajahnya keibuan serta ramah membuat wajah beliau
terlihat cerah. Posturnya sedikit gendut tetapi keriput itu sudah memenuhi
sebagian besar kulit tubuhnya. Kutaksir umurnya menginjak usia sekitar enam
puluh tahunan. Tetapi masih cukup terlihat sehat.
“Mau
kemana nduk?” tanya beliau sembari
merapikan tas kecil yang dibawanya. Aku tersadar setelah beberapa detik sibuk
mengamati beliau.
“Mau
ke kota, nek.” Ucapku dingkat.
Nenek
itu hanya mengangguk dan ber “oh” pendek dan kembalisibuk dengan tas kecil yang
ada dipangkuannya.
“Nenek
sendiri hendak kemana?” tanyaku sedikit basa-basi untuk memecah keheningan
diantara kami –meskipun sebenarnya disisi ramai sekali-.
Beliau
tersenyum, kemudian meletakkan tali tas kecilnya dipundak kanan beliau. “Saya
ingin mengunjungi anak saya yang ada di Kota, nduk. Sudah lama dia tidak mengunjungi nenek. Biasanya dia rutin
mengunjungi nenek setiap dua minggu sekali. Tetapi ini sudah empat minggu
berlalu tanpa kabar dan dia belum datang kerumah ibu lagi, nduk. Nenek khawatir terjadi apa-apa dengannya, nduk.” ucap beliau sembari tersenyum.
Aku
terenyuh mendengarnya. Dan seketika raut wajah ibu tadi pagi memenuhi
pikiranku. Ya Tuhan, aku merasa bersalah pada ibu. Tapi, tetap saja. Toh ini sebenarnya salah ibu. Kebiasaan
ibu menuduhku membuatku mejadi takut jujur padanya.
“Kekahawatiran
orang tua kepada semua anaknya tidak akan pernah berkurang, nduk” ucap nenek tiba-tiba. Beliau
tersenyum kepadaku. “Kasih sayang orang tua tidak akan pernah habisnya. Orang
tua pasti menginginkan hal-hal baik terjadi pada anaknya. Pun ketika mereka
memarahimu, ketika mereka menegurmu. Itu semua mereka lakukan karena mereka
mencintai anak-anaknya. Ya, cinta. Cinta dan kasih sayang yang tidak akan
pernah ada habisnya.”
Aku
terdiam. Bayangan wajah ibu pagi tadi benar-benar sempurna memenuhi pikiranku.
Perasaan bersalah ini. Kekhawatiran ini. Oh, Tuhan..
“Siapa
namamu, nduk?”tanya nenek membuyarkan
pikiranku.
“Ana
nek, “ jawabku singkat.
Nenek
tersenyum. Kemudian meraih tangan kananku. Aku heran dibuatnya, apa yang akan
nenek lakukan? Menculikku? Aku semakin bingung dibuatnya.
“Ana,
pernahkah ibu menegurmu ketika kau menerima telepon dari seorang laki-laki?”
wajah beliau begitu menentramkan hatiku. Ya Tuhan, itu seperti kejadian tadi
malam.
“Pernah
nek, “ aku tidak karuan dibuatnya. Perasaan bersalah ini, kekhawatiran ini. Ya
Tuhan..
“Apa
yang kau pikirkan tentang ibumu ketika itu?” nenek memandangku dalam-dalam.
Tapi aku hanya diam dibuatnya. Sepertinya pertanyaan beliau tidak perlu ku
jawab. “Ana, ibumu melakukan itu karena ibumu teramat menyayangimu. Beliau
mengkhawatirkanmu. Takut jika kau sampai dekat dengan orang yang tidak benar, nduk.”aku makin terdiam dibuatnya.
“Ana,
kau mungkin sudah dewasa. Tetapi kekhawatiran, kasih sayang dan cinta orang tua
kepada anak-anaknya tidak memiliki batas. Kesih sayang mereka dan kekhawatiran
mereka tidak berhenti ketika kamu sudah dewasa, nduk. Rasa itu akan tetap ada, sampai kapanpun. Ana, kau lihat
nenek tua ini bukan?” nenek tersenyum dan aku mengangguk sembari memperhatikan
beliau dan apa yang beliau ucapkan. “Ya, seperti yang nenek katakan. Kasih
sayang orang tua tidak berhenti ketika anak-anaknya beranjak dewasa. Nenek
masih tetap menghawatirkan anak-anak nenek meskipun mereka sudah dewasa dan
merasa sudah tidak perlu lagi diperhatikan seperti anak kecil.” Nenek tersenyum
kepadaku.
Aku
benar-benar ingin menangis dibuatnya. Nenek benar. Ya Tuhan, aku sekarang jadi
benar-benar merindukan ibu. Aku ingin meminta maaf pada ibu soal kejadian tadi
malam. Ya Tuhan. Bodohnya aku.
“Jaga
dirimu baik-baik dan sayangilah orang tuamu.” Ucap nenek sesaat sebelum turun
dari minibus ini.
Aku
hampir menangis, “Terimakasih banyak nek, “ nenek hanya mengangguk kemudian
tersenyum dan menghilang dibalik kerumunan orang-orang dijalan.
Pikiranku
semuakin kacau. Aku ingin segera pulang dan meminta maaf pada ibu atas
kebohonganku tadi malam. Maka setelah turun dari minibus, aku segera berlari
menghampiri teman-temanku dipojok taman kota.
“Lama
sekali.” Ucap Gagah sedikit ketus.
Aku
tidak menjawabnya. Aku buru-buru membuka tasku dan kemudian sibuk mencari map
coklat didalam tas. Teman-teman yang lain sibuk memperhatikanku tanpa banyak
bicara. Sementara wajah Gagah sudah merah padam karena sebal sekali dengan
kelakuanku.
Nah!
Dapat. Aku langsung menyerahkan map coklat itu kepada Gagah yang sekarang
keheranan. “Ini semua isinya data-data yang dibutuhkan untuk rapat sekarang.
Maaf aku membuat kalian lama menunggu.” Ucapku tergesah-gesah. “Maafkan aku
juga karena hari ini aku tidak dapat mengikuti rapat ini. “ aku bergegas
meninggalkan Gagah dan teman-teman yang lain tanpa banyak bicara.
“Hei
Ana! Mau kemana kau?” Nana meneriakiku dari kejauhan.
“Ada
hal penting yang harus aku selesaikan.” Ucapku sambil berlari mendekati minibus
yang akan membawaku putar arah.
Aku
terduduk dipojok kursi penumpang. Air mataku sudah tidak dapat kutahan. Aku
memeluk erat tas yang kubawa. Menutupi wajahku dari orang-orang didalam mini
bus ini.
“Maafkan
Ana, Ibu.....”

Komentar
Posting Komentar
Terima kasih