Catatan Demonstran: Ungkapan Kekecewaan pada Elite Bebal
Senin
dan selasa lalu, 23-24 September 2019 adalah hari bersejarah dan juga
perjuangan bagi agenda penegakkan demokrasi di Indonesia. Ketika birokrat
pemerintah dan juga pihak yang katanya “perwakilan rakyat” itu banyak mengeluarkan
kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan rakyat, kritik dan beribu
pertanyaan pun di lontarkan. Meskipun, dibalik itu semua masih ada saja pihak
yang mendukung agenda tersebut. Jeritan suara rakyat itupun akhirnya memanggil
nurani para intelektual di perguruan tinggi untuk memperjuangkan kepentingan
rakyat. Mahasiswa di seluruh Indonesia, dari berbagai kalangan dan latar
belakang, akhirnya turun ke jalan; meminta keadilan, menagih janji para elite
politik.
Dan
perkenalkan, aku, hanya seorang mahasiswi biasa. Yang punya pemikiran
tradisional yang tidak pernah berani mendobrak “kebiasaan”. Hanya disibukkan
dengan kepentingan pribadi, tentang kegiatan akademik dan sedikit aktivitas
organisasi dalam lingkup kecil. Meskipun sejujurnya, kesal dan muak sudah
dengan berbagai drama yang dilakukan oleh banyak elite politik diatas sana,
yang bisa aku lakukan sejauh itu hanya berupa tulisan kritis, yang bahkan hanya
aku sampaikan pada orang-orang tertentu saja. Enggan sekali berdebat dengan
mereka yang berbeda pandangan, lebih memilih diam terkungkung dalam kesal dan
muak.
Tetapi,
24 September 2019 lalu adalah catatan sejarah pribadiku. Dimana hari itu, aku
merasa berada dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya. Belajar berani
bersuara, belajar bertanggungjawab atas setiap argument, belajar dalam
perbedaan, dan menyaksikan langsung apa yang sesungguhnya ada di lapangan. Ketika
sehari sebelumnya, aku masih enggan
menggerakkan tubuh dari zona nyaman dan ketika mama dan bapak kemudian
menghubungiku, menanyakan apa yang akan ku lakukan, satu hal yang aku ingat
dari apa yang beliau berdua katakan,
“Nduk,
ikut demo ndak? Bapak dan mama menyetujui dan mendukungmu ikut.”
“Nduk,
kemana suara nyaringmu? Belajar berani. Turun ke jalan untuk menyuarakan
kebenaran. Sudah bukan saatnya hanya nyaring dalam tulisan.” Dan degg,
aku terhentak.
Maka
detik itu pula aku benar-benar menanyakan keberanianku pada lubuk hatiku yang
paling dalam dan memutuskan, “Ayo turun
dan suarakan!”
Dan
kamu tau? Banyak sekali yang aku saksikan disana. Tentang satu suara kebenaran
yang membuat hati banyak teman-teman tergerak menyuarakannya. Mungkin kalian
akan bertanya-tanya, tidak adakah jalan lain? Ada, dan tentunya sudah kami
coba. Tapi apa? Bebal dan rasa tak gentar membuat para elit politik tahu diri
untuk saling mengintrospeksi diri. Lalu? Mereka memerlukan pressure lebih; untuk
sadar pada akhirnya.
Hari
itu juga aku ikut berdiri diantara ribuan teman-teman mahasiswa di depan gedung
DPR-D Surakarta untuk menyampaikan tuntutan dan keadilan. Berdiri sebagai orang
yang merasa bahwa; “aku harus bersuara” bukan sebagai; “akulah pahlawannya”. Menyaksikan
betapa plinplan nya para dewan –wakil-
rakyat, menyaksikan betapa perihnya di tembak gas air mata. Sepanjang itu pula
aku menangis, merasa sesak. Tenyata begini? Beginikah mereka yang kami utus
untuk mewakili suara kami? Beginikah mereka yang katanya ditugasi untuk
mengayomi kami? Kecewa.
Aku
harus akui, bahwa sepertinya peristiwa itu juga pada akhirnya tidak
terorganisasi dengan baik. Teknis dan pelaksanaannya masih perlu sama-sama
dievaluasi. Karena bukankah percuma saja, ketika sesuatu dilaksanakan tanpa
adanya menejemen yang baik? dan aku belajar.
Poin
penting dari peristiwa itu, bagi diriku pribadi adalah satu momen yang
mengajarkan pada diriku sendiri bahwa “apa yang kita pikirkan: jika memag itu
menyangkut kepentingan orang banyak” maka perlu disuarakan. Bayangkan saja jika semua orang memilih diam dalam
kesal? Kapan elite politik itu sadar, bahkan ketika sudah jelas ribuan dan
jutaan mahasiswa bergerak bersama mereka masih saja bebal?
Lantas
kenapa mahasiswa yang harus turun? Aku mengalami sendiri pengalaman yang pada
akhirnya menjawab pertanyaan ini. Ketika siang itu, aku dan yang lain bersiap
menuju lokasi, salah satu dosen kami melewati kami sambil berkata, “Maaf bapak tidak ikut serta, kalianlah
pionernya. Semangat! Semoga sukses.” Aku jelas mengerti, ketika rektorat
mengeluarkan ultimatum bahwa hari itu kuliah tetap diadakan, mahasiswa
kebingungan apakah harus turun atau tetap duduk di kelas? dosen-dosen tetap
takzim mengikutinya, dan spanduk-spanduk argumen diturunkan, masih ada dosen
yang menyemangati kami di sela ultimatum tersebut. Aku harus mengatakan bahwa
itu adalah momen mengharukan bila dibanding dengan beberapa okum lain yang
justru asik nyindir dan nyinyir di kelas.
Dilain
kesempatan, ketika sore itu demonstran di bubarkan oleh kepolisian dengan
serbuan tembakan gas air mata, akupun diminta pulang. Kembali ke kampus
menggunakan jasa ojek online yang kebetulan aku pesan karena aku harus pulang
sendirian. Dijalan, bapak driver ini menghujaniku dengan banyak pertanyaan
tentang demo tadi, -beliau tau karena aku memang memesan tidak jauh dari lokasi
dan aku membawa jas almamaterku di tangan- dan yang aku ingat pasti, beliau
dengan lembut berkata, “Terimakasih mba
dan juga mahasiswa, pendapat dan suara rakyat bisa lantang disuarakan. Kalau kami
yang ngomong mungkin ga akan di
dengar karena bukan siapa-siapa. Kalian yang pintar-pintar ini semoga selalu
dalam kebenaran.” Katanya.
Terenyuh,
bahkan aku tidak tahu kalau sudah seperti ini sebenarnya untuk siapa mereka
bekerja? Untuk siapa mereka berusaha? Bahkan rakyat tidak merasa diwakili
suaranya. Bebal sudah.
Surakarta, 28 September 2019
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih